TUGAS KELOMPOK
DASAR-DASAR PENDIDIKAN MIPA
“Keterkaitan Antara Muslim Dan Sains”
Di susun oleh :
NAMA NPM
Muhammad Ikhsan 10311634
Nova Ariyanti 10311637
Nanang
Adi Saputra 10311635
Pendri Supratmanto 10311643
Novita Catur
Anggraini 10311638
Nurhayati 10311639
Nuriyati Hikmah 10311640
Nurul Khotimah
Zuhroh 10311641
Okta Puspita Dewi 10311642
Prodi : Pend. Matematika (A)
Kelompok : 6 (enam)
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH METRO
2011
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan maklah ini dengan judul ”Keterkaitan Muslim Terhadap Sains”. Makalah ini disusun sebagai
salah satu syarat mengikuti mata kuliah Dasar-dasar Pendidikan MIPA di
Universitas Muhammadiyah Metro Jurusan MIPA Prodi Pendidikan Matematika.
Disamping itu, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak
mendapat perhatian, jasa-jasa dan dorongan dari beberapa pihak. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati serta penuh rasa hormat kami
menyampaikan teimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Drs. Purwiro Harjati, M.Pd, selaku dosen mata
kuliah Dasar-dasar Pendidikan MIPA yang telah member bimbingan dan saran sehingga
terselesaikan tugas ini.
2.
Teman-teman
dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini.
Semoga atas jasa dan amal baik yang telah diberikan
kepada kami mendapat balasan dari Allah SWT. Kami menyadari dalam pembuatan
makalah ini banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun penyusun sangat diharapkan, demi kesempurnaan tugas yang akan datang.
Kami berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
bagi kami khususnya.
Wasalamua’laikum Wr.Wb.
Metro, 19 April 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
2.1.1.
Pengertian muslim
2.1.2.
Pengertian Sains
2.2. Hubungan Antara Muslim (islam)
terhadap sains
2.3. Sikap Muslim Terhadap Sains
2.4. Peran Muslim Terhadap Ilmu
Pengetahuan (Sains)
BAB
III PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
Muslim adalah
seseorang yang berserah diri (kepada Allah), termasuk segala makhluk yang ada
di langit
dan bumi.
Pada zaman sekarang kalimat muslim merujuk
kepada penganut agama
Islam.
Muslim sebutan untuk pria Islam sedangkan muslimah sebutan untuk wanita Islam.
Sedangkan Sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
pembelajaran dan pembuktian. Sains merupakan produk dan proses
yang tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang
ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari
penjelasan tentang gejala-gejala alam seperti merumuskan masalah, merumuskan hipotssesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data,
menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik
yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk
kuantitas.
Hubungan muslim
dan sains sebagai seperangkat hubungan dinamis yang muncul dari konsep
pengetahuan Islam
tertentu (dalam hal ini, pengetahuan ilmiah) yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tugas sebagai ilmuwan
ialah naluri untuk memperoleh pengetahuan yang selalu menjadi penggerak utama
untuk menjelajahi alam dunia.
Secara umum, model alam semesta ini bagi
seorang ilmuwan Muslim adalah sebagai kerangka kerja dan integrasi data ilmiah tentang bintang ke
alam semesta yang lebih besar adalah apa yang dimaksud dengan “pengolahan” data
berdasarkan kesucian wahyu. Ilmuwan melakukan pengamatan dan pengukuran
tujuannya untuk memajukan pengetahuan,
di samping itu seorang muslim adalah manusia yang berada dalam masyarakat yang
memiliki kebutuhan tertentu berupa berkah dari pendidikannya, pelatihan, sumber
daya material, dan preferensi pribadi yang harus dipenuhi, serta berharap apa
yang dipelajari akan memberi umpan balik positif atas usahanya.
Masuknya sains
modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam
reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern
itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Ada
yang berpendapat bahwa kelompok
minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap
sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ada juga yang
berpendapat bahwa kelompok intelektual
Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang
dunia yang bersifat empiris.
Selama ini segala ilmu pengetahuan yang kita ketahui adalah berkat hasil karya atau temuan orang-orang barat.
Kita beranggapan
bahwa orang-orang barat adalah orang-orang yang cerdas dan memiliki andil yang
paling besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
2.1.1. Pengertian Muslim
Muslim
dalam bahasa arab adalah secara harfiah berarti "seseorang yang berserah
diri (kepada Allah)", termasuk segala makhluk yang ada di langit
dan bumi
(QS Al-Imran 3:83, 1:2).
Pada
zaman sekarang kalimat muslim merujuk kepada
penganut agama
Islam.
Muslim sebutan untuk pria Islam sedangkan muslimah sebutan untuk wanita Islam.
Dalam arti lain seorang muslim artinya
orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah kepada Tuhan, tetapi
dalam tingkatan
manusia berkualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada
tingkatan terendah. Karakteristik seorang muslim adalah
seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, berusaha untuk mengikuti jalan
kebenaran itu, tetapi dalam praktek ia belum tangguh karena ia masih suka
melupakan hal-hal yang kecil. Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas
mukmin adalah seorang muslim yang sudah istiqamah
atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai kebenaran, sampai kepada
hal-hal yang kecil.
2.1.2.
Pengertian Sains
Kata
sains berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti pengetahuan. Ada pula
yang mendefinisikan sains adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui
pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran
umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan
melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk
mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk
menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .
Pengertian
sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan melalui
metode tersebut, atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu
pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.
Sains
dengan definisi diatas sering kali disebut dengan sains murni, untuk
membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya
diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
-
Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam
-
Sosial sains atau ilmu Pengetahuan sosial
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan,
sains sebagai proses merupakan
langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam
rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan
data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa
karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam
dapat berbentuk kuantitas.
Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu
berkembang dari dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi
rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian
berkembang ke dalam ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam
membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu
hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah ilmu yang mempelajari zat yang
membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat mempelajari makhluk hidup
didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa
dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari
benda-benda langit dan ilmu bumi), (the earth sciences) yang mempelajari bumi
kita.
2.2.
Hubungan antara muslim (islam) terhadap sains
Dengan menggunakan kategori-kategori konseptual yang
melekat dalam Islam untuk memahami apakah suatu pengetahuan itu ilmiah atau
tidak kita bisa merumuskan pertanyaan tentang hubungan Islam dan sains.
Pengetahuan dalam bahasa Arab adalah ilm, sebuah kata yang sering muncul dalam
Al-Quran. Pengetahuan dianggap sangat penting; “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”, sebuah ayat
Al-Quran memberitahu kita (QS. 39:9).Nabi SAW mengatakan bahwa “ulama adalah
pewaris para nabi”. Nabi SAW juga menyarankan muslim untuk “mencari pengetahuan
semenjak buaian sampai ke liang kubur”. Mengakuisisi pengetahuan merupakan
manifestasi keluhuran budi, karena hal itu memuliakan kemanusiaan dan melayani
kebutuhannya. Dalam kasus tertentu, sejumlah pengetahuan Islam dianggap penting
bagi masyarakat, berbagai ilmu pengetahuan sangat penting untuk memenuhi
kebutuhan praktis masyarakat. Pengakuan ini menghasilkan dua kategori kewajiban yaitu pribadi dan komunal. Kewajiban
pribadi (fard ‘ayn) dari orang yang percaya untuk memiliki sejumlah pengetahuan
dari dîn-nya tetapi tidak setiap orang wajib memiliki keahlian dalam
astronomi atau matematika, karena hal
ini kewajiban dari suatu komunitas. Jadi dapat dipastikan bahwa mewujudkan
pengetahuan ilmiah apakah melanjutkan pemahaman tentang sistem kerjanya atau
hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat menjadi tugas “agama” bagi
seluruh masyarakat. Dengan demikian, sejumlah individu tertentu dari masyarakat
harus mempersiapkan hal itu dengan keuangan cukup, logistik memadai, dan
dukungan moral dari seluruh masyarakat. Hal ini akan menjadi kewajiban agama
yang menyediakan hubungan antara Islam dan pencarian pengetahuan ilmiah.
Skema konseptual “interaksi sains dan agama” muncul
dari pemahaman dasar tentang sifat dan fungsi pengetahuan untuk menghapus
dualitas yang melekat dalam model dua entitas, dan memungkinkan kita untuk
memahami upaya ilmiah dari para ilmuwan Muslim dan ulama periode klasik dengan
istilah mereka sendiri. “Saya membatasi buku ini”, tulis Al-Khawarizmi dalam
pengantar Algebra, “untuk keperluan menghitung warisan, bagian menilai
dalam perdagangan dan semua urusan satu sama lain yang melibatkan pengukuran
tanah, menggali kanal, dan perhitungan geometris, dan hal-hal lainnya”. Ketika
menulis bukunya sebagai perintis ilmu aljabar.
Bisa dikatakan bahwa tidak semua ilmuwan Muslim
melihat penelitian ilmiah seperti ini, adakalanya mereka tertarik kepada sains
hanya untuk kepentingan sendiri, atau mereka hanya mengejar karier, atau
sebagai penghidupan untuk keluarganya. Meskipun begitu, banyak juga ilmuwan
muslim yang memiliki komitmen terhadap Islam dengan bersungguh-sungguh membuat
kerangka konseptual sains islami. Dua kategori yang disebutkan di atas
(kewajiban pribadi atau fard ‘ain dan kewajiban komunal atau fard
kifayah) adalah istilah-istilah sesuai dengan hukum Islam yang tertanam
dalam sistem kepercayaan dan praktek Islam.
Hubungan muslim dan sains merupakan hubungan
organik antara sains, ilmuwan, serta keimanan dan prakteknya. Di satu sisi,
hubungan itu adalah antara apa yang seorang individu persepsikan sebagai
kewajiban pribadinya dan perannya dalam memenuhi kewajiban komunal . Tetapi,
hal ini bukan berarti tidak ada ketegangan atau konflik di dalam ilmiah tradisi
Islam. Pandangan Islam terhadap semua sains apakah ilmiah atau sebaliknya
melalui perspektif unik yang memiliki kesatuan pengetahuan, arah, dan tujuan
tertentu. Metodologi yang diusulkan di sini adalah mengeksplorasi hubungan
muslim dan sains sebagai seperangkat hubungan dinamis yang muncul dari konsep
pengetahuan Islam tertentu (dalam hal ini, pengetahuan ilmiah) yang berfungsi
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tugas sebagai ilmuwan untuk memenuhi
kebutuhan ini, dan naluri memperoleh pengetahuan yang selalu menjadi penggerak
utama untuk menjelajahi alam dunia.
Secara umum, model alam semesta ini bagi seorang
ilmuwan Muslim adalah sebagai kerangka kerja dan integrasi data ilmiah tentang
bintang ke alam semesta yang lebih besar adalah apa yang dimaksud dengan
“pengolahan” data berdasarkan kesucian wahyu. Ilmuwan melakukan pengamatan dan
pengukuran untuk tujuan memajukan pengetahuan, di samping itu ia adalah manusia
yang berada dalam masyarakat yang memiliki kebutuhan tertentu berupa berkah
dari pendidikannya, pelatihan, sumber daya material, dan preferensi pribadi yang
harus dipenuhi, serta berharap apa yang dipelajari akan memberi umpan balik
positif atas usahanya.
2.3.
Sikap muslim terhadap sains
Masuknya
sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi
bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan
oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum
intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di
seluruh dunia Islam. Memasuki era modern,
sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan
menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun,
dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang
kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah
bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya.
Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran
besar:
1)
Kelompok minoritas ulama yang enggan
bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran
Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
2)
Kelompok intelektual Islam yang
mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang
bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya
solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains
modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
3)
Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui
peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi
sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah
keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat
dibagi lagi sebagaimana berikut:
·
Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed
Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha memberi justifikasi terhadap sains
modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan
dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka
menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga
independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah
intelektual Muslim yang sekuler.
·
Sejumlah pemikir berusaha melacak semua
penemuan sains yang penting di dalam Al-Qur’an dan hadis. Keinginan mereka
adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam dan
membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan
berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah
dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan
Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu
kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat
Muslim.
·
Para ulama berusaha mereinterpretasi
sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif sains modern. Ulama India, Sir
Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi
prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat
disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
4)
Terakhir, para filsuf Islam yang
membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern
tesebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia
semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat
kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang
mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat
mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja tidak dapat
memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan
dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas.
Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.
Ø sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara
sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan penemuan sains
modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal dalam sains
yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama.
Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber
konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari
asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen.
Ø Ilmuwan muslim tebagi menjadi tiga kelompok:
·
Pertama,
kelompok muslim yang apologetik, kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal
dan netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains
modern dengan mencari-cari ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori dalam sains
tersebut.
·
Kedua,
kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga
mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen
yang tidak Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan
untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Tetapi karena dengan
eksperimen-eksperimen dan teknik-teknik yang kuantitatif sekalipun ia tidak
lepas dari nilai-nilai, alih-alih mampu merealisasikan Islam, sains modern
malah akan menjadi pendukung nilai-nilai Barat yang tak Islami.
·
Ketiga,
kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya.
Berbicara tentang sains Islam dan bagaimana proses
membangunnya, kiranya tidak akan lepas dari adanya upaya Islamisasi ilmu.
Walaupun dalam hal ini terdapat kontroversial antara yang setuju dan yang tidak
diantara para ilmuwan ada yang setuju untuk menyesuaikan
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dengan ajaran Islam dan ada
pula yang tidak menyetujui gagasan islamisasi ilmu, karena menurut mereka yang
harus diislamkan adalah manusianya, bukan ilmunya. Keengganan ini tampaknya
disebabkan sensitivitas terminologi tersebut dari segi objektivitas ilmiah.
Sedangkan kelompok yang setuju disebabkan oleh sensitivitasnya dari segi rasa
keagamaan, sehingga harus diikuti kalau memanga hendak bereksistensi sebagai
seorang muslim.
Islamisasi ilmu merupakan suatu keharusan. Disamping
Islam mempunyai pengarahan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi
ilmu, dan masuknya ajaran Islam dalam aktivitas ilmiah tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip ilmiah. Disamping itu, Kemajuan Islam di zaman klasik atau abad
pertengahan Masehi dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban telah dipahami
sebagai hasil usaha merealisasikan ajaran islam itu sendiri, maka untuk keluar
dari keterbelakangan saat ini adalah dengan
semangat kembali kepada Islam.
2.4. Peran muslim terhadap ilmu
pengetahuan (sains)
Selama ini segala ilmu
pengetahuan yang kita ketahui adalah berkat
hasil karya atau temuan orang-orang barat. Kita beranggapan
bahwa orang-orang barat adalah orang-orang yang cerdas dan memiliki andil yang
paling besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Misalnya Isaac
Newton, orang yang telah menemukan adanya
gaya gravitasi dan telah merumuskannya
dalam suatu hukum yang telah kita kenal sebagai Hukum Newton I,II, dan III, atau Galileo Galilei yang fenomenal
dalam ilmu astronomi karena telah mencetuskan bahwa bumi itu bulat. Tapi
pernahkah kita mendengar nama-nama
ilmuan islam seperti Ibnu Sina bapak kedokteran dunia,Jabir ibn Hayyan sebagai
seorang ahli kimia, dan Al-Khawarizm sebagai orang yang telah menemukan ilmu
algoritma dan aljabar? Mungkin sebagian
dari kita telah mendengarnya, tetapi itu hanya sebagian kecil orang yang menyadari
bahwa ilmuan-ilmuan islam telah membuahkan banyak sekali karya-karyanya dalam
ilmu pengetahuan sehingga kita dapat
merasakan peradaban yang begitu maju saat ini.Untuk membahas itu semua mari kita mulai dari awal mula berkembangnya sains dan peradaban dunia yaitu
berawal pada zaman Nabi Muhammad
Rasulullah SAW.
I. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Rasulullah
SAW
Pada masa sebelum diutusnya
Nabi Muhammad SAW, seluruh dunia Arab tenggelam dalam
kebodohan. Sebagian besar masyarakatnya tidak
bisa membaca dan menulis. Mereka juga menyembah berhala dan beranggapan bahwa
berhala tersebut dapat mengabulkan segala keinginan mereka. Karena kondisi yang demikian itulah bangsa Arab mendapat julukan
sebagai bangsa jahiliyah atau bangsa
yang bodoh. Tetapi setelah Allah SWT mengutus Muhammad menjadi seorang
rasul, secara perlahan-lahan tabir kebodohan itu pun tersingkap. Bahkan seperti
yang telah kita ketahui bersama, wahyu yang pertama kali turun pun,
yaitu surat Al-Alaq:1-5, memerintahkan kita untuk membaca. Kita semua juga tahu
bahwa membaca adalah jendela ilmu pengetahuan
dan jendela peradaban. Betapa islam adalah agama yang mulia yang memperhatikan segala kepentingan hidup
kita yang salah satunya adalah membaca. Perlahan-lahan
masyarakat Arab mulai mempelajari baca tulis. Mereka menuliskan
wahyu-wahyu yang turun di atas kulit, tulang-belulang, pelepah kurma, dan lain-lain. Selain itu Rasulullah juga memerintahkan para sahabat untuk
menghafal Al-Qur’an agar kemurniannya tetap terjaga. Dengan semangat itulah, maka terbangun jiwa umat islam untuk
tidak hanya beriman tetapi juga berilmu. Dari upaya-upaya tersebut
mulailah dibangun peradaban manusia yang tadinya buta huruf, akhirnya menjadi
bangsa yang pandai baca tulis. Pada masa Nabi Muhammad SAW ini terlahir banyak
sekali ilmuwan-ilmuwan muslim pada bidang agama, karena pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan terpusat
pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pada bidang tafsir yang paling terkenal adalah
tafsir Ali bin Abi Thalib, pada bidang hukum dan pemerintahan kita kenal Umar
bin Khattab, pada bidang fiqh ada Aisyah
binti Abu Bakar, pada bidang hadits kita juga mengenalAbu Hurairah, dan masih banyak lagi
ilmuwan-ilmuwan pada zaman Rasulullah
SAW.
II. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Manusia
Setelah Masa Rasulullah SAW dan Para Sahabat
Setelah masa pemerintahan Khulafaurrasyidin terdapat dua dinasti besar yang memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan sains dan peradaban manusia, yakni Dinasti Bani Umayyah dan
Dinasti Bani Abbasiyah. Pada massa dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan mulai
berkembang, tidak hanya berkisar pada ilmu-ilmu agama tetapi juga telah dikembangkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu
sejarah, bahasa, dan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak
hanya atas jasa orang arab, tetapi juga terdapat jasa-jasa orang
non-arab yang biasa kita sebut sebagai mawali.
Pada ilmu hadits
misalnya, ada Imam Bukhari dan Imam Muslim yang keduanya bukan orang
arab. Imam Bukhari berasal dari Bukhara yang
terdapat disuatu daerah yang sekarang kita kenal sebagai Rusia. Pada zaman Dinasti Abbasiya ilmu pengetahuan dan peradaban islam semakin bertambah
pesat dan menjadi masa keemasan islam. Ilmu pengetahuan begitu diperhatikan dan lebih diperkaya lagi. Para
khalifah dinasti ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan
ilmu pengetahuan. Pada pemerintahan khalifah Ja’far Al-Mansyur pusat
pemerintahan dipindahkan ke Baghdad sehingga Baghdad menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan pusat peradaban pada saatitu.
Dinasti ini mencapai puncak keemasan pada kekhalifahan Harun Al-Rasyid. Ilmu nahwu yang kita pelajari saat ini sebenarnya
adalah buah karya seorang ilmuwan yang
bernama Abu Al-Aswad Ad-Duali. Ilmu
nahwu merupakan sebuah ilmu yang mempelajaritata bahasa arab yang baik
dan benar. Pada dinasti ini lahir pula empat
ulama ahli fiqh (fuqaha) yang masih
kita kenal hukum-hukumnya hingga saat
ini atau biasa disebut empat madzhab, yaitu: Imam Abu Hanifah, Imam
Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal.
Selain itu banyak pula
ilmuwan-ilmuwan pada bidang ilmu selain ilmu agama. Pada
bidang kedokteran ada seorangi lmuawan yang amat terkenal hingga menjadi
panutan bagi ilmuwan-ilmuwan barat,
beliau adalah Ibnu Sina atau Avicenna pada pelafalan barat. Beliau telah
menulis sebuah buku segala seluk-beluk bidang kedokteran yang berjudul Al-Qanun fi Ath-Thib dan telah diterjemahkan menjadi berbagai
bahasa dan telah menjadi rujukan selama berabad-abad. Selanjutnya ada juga
seorang ahli filsafat yang bernama Ibnu Rusyd atau dikenal Averroes pada
pelafalan orang barat. Filsafatnya telah mempengaruhi banyak filsuf kristen
seperti St.Thomas Aquinas. Pada bidang matematika ilmuwan yang paling fenomenal
adalah Al-Khawarizm atau Algorizm. Beliaulah yang mengembangkan ilmu algoritma dan aljabar. Serta seorang ilmuan yang
bernama Jabir Ibnu Hayyan, beliau adalah Bapak Kimia islam. Selain
kemajuan dalam bidang-bidang sains juga terdapat kemajuan pada bidang arsitektur. Pada masa itu dibangun sebuah masjid
dengan arsitektur seperti sarang lebah dan masjid tersebut diberi nama
Masjid Samara. Kata Samara tersebut merupakan singkatan dari Sarra Man Roa yang artinya ‘terpesonalah
yang melihatnya’. Dari beberapa penjabaran di atas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa islam bukanlah agama yang
terbelakang yang tidak memperhatikan
ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan selain ilmu agama. Islam
adalah agama yang amat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Bukti-buktinya
banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an. Banyak sekali penemuan-penemuan penting baru-baru ini yang sebenarnya
telah tertulis dalam Al-Qur’an yang bahkan usianya sudah 14 abad.
Disamping itu bahkan universitas tertua di dunia merupakan universitas yang didirikan oleh umat muslim dan
masih berdiri hingga sekarang. Univrsitas tersebut berlokasi di Kairo,
Mesir dan bernama Unniversitas Al-Azhar.
Penjelasan tadi juga membuka mata kita bahwa sebenarnya ilmuwan-ilmuwan
islamlah yang sebenarnya menginspirasi ilmuwan-ilmuwan yang kita kenal
sekarang ini. Mengapa saat umat islam saat ini lebih terbelakang daripada
orang-orang barat? Jawabannya adalah kita tidak menjaga dan tidak menghargai ilmu-ilmu yang telah dikembangkan
oleh umat-umat muslim terdahulu sehingga orang-orang non-muslim yang lebih
menghargainya dan merawatnya menjadi lebih
unggul dibandingkan dengan umat islam saat ini.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muslim artinya
orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah kepada Tuhan, tetapi
dalam tingkatan
manusia berkualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada
tingkatan terendah. Sedangkan
sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan
pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum –
hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode
ilmiah.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan,
sains sebagai proses merupakan
langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam
rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah
merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan
data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan.
Hubungan muslim dan sains merupakan hubungan
organik antara sains, ilmuwan, serta keismanan
dan prakteknya. Di satu sisi, hubungan itu adalah antara apa yang seorang
individu persepsikan sebagai kewajiban pribadinya dan perannya dalam memenuhi
kewajiban komunal . Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada ketegangan atau
konflik di dalam ilmiah tradisi Islam. Pandangan
Islam terhadap semua sains apakah ilmiah atau sebaliknya melalui perspektif
unik yang memiliki kesatuan pengetahuan, arah, dan tujuan tertentu.
Sikap kaum Muslim terhadap
sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang
menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh
kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama
ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu
dan meletakkannya pada tempatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
0 comments:
Post a Comment