DEFINISI ILMU PENDIDIKAN
A.
DEFINISI ILMU PENDIDIKAN MENURUT PARA TOKOH
Secara
definitive arti pendidikan yang diartikan oleh para tokoh pendidikan, sebagai
berikut ini :
1. John
Dewey: Pendidikan adalah proses pembentukan-pembentukan kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.
2. Langeveld:
Pendidikan adalah mempengaruhi anak dalam usaha membimbingnya supaya menjadi
dewasa. Untuk membimbing adalah usaha yang disadari dan di laksanakan dengan
sengaja antara orang dewasa dan anak-anak.
3. Hoogeveld:
Pendidikan membantu anak supaya cukup cakap menyelenggarakan tugas hidupnya
atas tanggung jawabnya sendiri.
4. Rousseau:
Pendidikan adalah memberi kita pembekalan yang ada pada masa anak-anak, akan tetapi kita membutuhkannya
pada waktu dewasa.
5. Ki
Hajar Dewantara: Pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang
ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan masyarakat dapat mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi tingginya.
6. SA.
Bratanata: Pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung
maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam
perkembangannya mencapai kedewasaan.
7. GBHN:
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di
dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
B.
PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN
BAGI PENDIDIKAN
(Suatu
Tinjauan Filsafat Sains)
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila
ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak
dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan
pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam
ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini
adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan
bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita
mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk
anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju
ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu
pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil
yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.
Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori
pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari
cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?
A. Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni
Masalah pendidikan mikro yang menjadi fokus disini khususnya ialah dasar dan landasan
pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil
manusia dalam fenomena pendidikan.
1. Pendidikan
dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di
lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus
dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional
yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan
hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung.
Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan
menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan
pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses
dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat
moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan
pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu
mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat
nilai-nilai yang dihayati itu.
Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia
gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama
mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha
nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan
Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir
kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi
kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda
dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun
1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997.
itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas
dengan Pancasila dalam praktek di luar ruang
penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi di dalam praktek,
sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus
atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak
dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr.
Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan
gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan
kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial
dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori
dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta
didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan
masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik
dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan
(psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan
menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu
praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.
2. Landasan Sosial dan
Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai
gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro
pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif
tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau
sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara
orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan
agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat
pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia
berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat
pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama
sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok
yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat
dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan
merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek)
yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai
orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan
perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang
lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang
kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang
Inggris antara I dan me).
Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang
lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar
kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam
skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu
pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi
kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya
pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan
masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini
pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi
terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi
kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya
kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung
dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada
penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi
yang afektif.
3. Teori Pendidikan
Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek
lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa
manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia
sebagai sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yang bersifat
luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan
bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai
berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam
arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat
maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan
pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan
intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri
yaitu my self atau the self).
Adapun manusia
sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel
yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah
variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks
sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik
secara orang perorang
(personal).
Sepeti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh
Phenix (1958:40), yaitu :
“It possible
to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught
person as one who direct his own development through an internal interaction
between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one
teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the
interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate
means, retain its person to person character.
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam
pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan.
Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak
sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila
perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang
lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik.
Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan
mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi
sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila
ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah
(Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala
sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi
ketertinggalan-nya khususnya di tanah air kita?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage
(1978:20),
“Scientific
method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and
even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time.
Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to
weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the
run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist
must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to
teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro
termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu
diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik
(teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu
pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama
daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan
perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu
pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya
mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah,
psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan
dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar
dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar
aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis
siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya
perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi
agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar
pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa
diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan
utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai
aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang
juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu
konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal.
Maka konsep
pendidikan yang memerlukan ilmu fdan seni ialah proses atau upaya sadar antar
manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah
membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi
yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar
manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu
pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf
kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan
memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1,
UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber
CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang
makro, yaitu :
“Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi
peranannya di masa yang akan datang”.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian kurang mampu
memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang
pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem
pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup
pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus
juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi
dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang
disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai
dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa
mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut di dalam Among dan
bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri
aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan
penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan
menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti
merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi
masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki
Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan
dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam
mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan
terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian
landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala)
pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya
barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu
psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula
konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan
sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak
hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas
masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan
pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas
kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan
siswanya.
B. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian
diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan
sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak
lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas
sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 %
(bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap
dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai
internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan
esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif)
dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan
psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas
targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup
dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap
internal mencapai 100 % diperlukn tolong menolong antara sesama manusia. Dalam
hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan
yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi
interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol
sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah
100%.
1. Pedagogik sebagai
ilmu murni menelaah fenomena pendidikan
Jelaslah bahwa
telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui
kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic
(pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu
mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya.
Data faktual tidak berasal
dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah ilmuwan
itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang
normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas
manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan
antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat
menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu
filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu
pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan
konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu
atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu
praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan
hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic
praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat
pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat
normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai
manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa
batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya
secara mikro mencakup :
-
Relasi sesama
manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
- Pentingnya ilmu
pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif.
- Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (educator)
-
Keberadaan anak
manusia sebagai terdidik (learner, student)
-
Tujaun pendidikan
(educational aims and objectives)
-
Tindakan dan proses
pendidikan (educative process), dan
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational
institution)
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai
hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan
sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan
makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas
tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana
pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena
itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai
lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah
dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn
lingkupnnya sehingga meliputi:
-
Konteks sosial
budaya (socio cultural contexs and education)
-
Filsafat
pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
-
Teori,
pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang
bersifat preskriptif.
-
Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
Berbagai studi pendidikan
aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan
specific content pedagogy.
Sedangkan telaah lingkup yang
makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang
memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya.
Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan
informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan
formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas
dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu
sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang
meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c)
pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran
dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti
luas di lembaga formal dan non formal terkait.
Gambar I. Hubungan Ilmu
Pendidikan dan Ilmu-ilmu Bantu
2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu
Bidang masalah yang
ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia dan sesamanya
yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi
inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu
mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik
teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan
pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua
orang termasuk orang dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain cabang
pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabvang-cabang pedagogic praktis,
diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga,
andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia),
serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan
pendidikan orang dewasa.
Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di
dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan
satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat
antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas
perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi
sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma
sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah
demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara
ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi,
psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).
a. Pendekatan
fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak
menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan
penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu
pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik
melakukan telaah fenomenologis aatas fenomen yang bersifat empiris sekalipun
bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan
pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu
siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan
bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri pokok
dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula
yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik
mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang
data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan
penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan.
Itulah fenomena atau gejala
pendidikan secraa mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yng
menjadi inti daari batang tubuh pedagogic.
b. Kontribusi
ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic
Ilmu pendidikan
khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda
deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas
perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental
diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali. Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and control, then are
excellent criteria of understnding aang they also provide us with some of the
uses of understanding. They are not always easy to apply, however, and I think
little is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory
notes about the future applications of the scientific study of education.”
Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan
mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan
didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus
menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif.
Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual)
dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi
ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri
langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan)
ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila
situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan
prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.
C . Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan
Baiklah
sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar
ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu
pendidikan.
1. Dasar ontologis
ilmu pendidikan
Pertama-tama pada
latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek
realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman panca indra ialah dunia
pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia
seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang
berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia
sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri
warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar pendidikan
dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan
dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan.
Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi
makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku
kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang
lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks
sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar
mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang
menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan
mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi
mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan
peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor
umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika
pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch.
I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan
serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan
terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB
summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi
kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.
- Dasar epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis
diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan
ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalaipun pengumpulan data di
lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek
formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi
kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif,
artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data
secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan
oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan
objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian
(verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan
atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga
betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi
eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex
post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa
dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu
pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan
kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi,
secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall
&Buchler,1942).
- Dasar aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori
pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan
untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses
pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak
hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga
nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam
praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan
pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak
bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan
ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali
untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti
dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi
pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa
ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu
sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa
ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan
harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat
unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).
- Dasar antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang
intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek
dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada
pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam
batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan
filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal
tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3)
moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional
didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran
nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap
yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan
sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai
bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
D. Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru
Program
Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari
perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan
tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada
pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh siswa calon guru setelah
mengikuti sejumlah pengalaman belajar.
Perangkat
kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh
asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik
atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat
berdasarkan Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam
menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan
pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Asumsi-asumsi
yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat
manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan
kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan
diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi
Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas
lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan
pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Hakekat Manusia
- Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan dirinya.
- Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.
- Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.
2.
Hakekat Masyarakat
- Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
- Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan.
- Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insane-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
3. Hakekat Pendidikan
- Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
- Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
- Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.
- Pendidikan berlangsung seumur hidup.
- Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.
4. Hakekat Subjek Didik
- Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
- Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.
- Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
- Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.
5. Hakekat Guru dan Tenaga Kependidikan
- Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.
- Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat.
- Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar.
- Guru dan tenga kependidikan bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik.
- Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.
- Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.
- Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik profesional.
6. Hakekat Belajar Mengajar
- Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
- Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat.
- Program belajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.
- Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiata belajar-mengajar.
- Pembentukan kompetensi profesional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodelogi penyampaian.
- Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.
- Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi.
- Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya selalu berkembang.
7.
Hakekat Kelembagaan
- LPTK merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.
- LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
- LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.
- LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.
- Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.
Catatan : Pendidikan berdasarkan kompetensi bagi tenaga kependidikan
lainnya memerlukan perangkat asumsi
yang berbeda.
Secara visual beberapa asumsi tersebut diatas
dapat digambarkan sebagai berikut :
E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya
memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan
berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup
bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana
mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping
penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus
menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan
mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan
tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan
pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun
tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta
perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian
tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan
secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya
melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian
tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan
batasan-batasan behavioral secara berlebihan.
Dimuka juga telah
dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika
mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu;
hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya,
yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan
pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat
kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak
terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan
khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab
tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik,
mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri,
untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya
individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar,
yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama
semakin laju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah
keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu
menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat,
kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai
tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah
harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan
sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan
mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah
pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan
seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan
karya yang dikembangkan dan dibina.
Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya
antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada
hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan
subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan”
prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan
pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan
antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses
pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot
yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan
pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan
penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan
menghasilkan pembudayaan manusia.
2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga
Kependidikan
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di
Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga
kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja
menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori
tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita
masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan
pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan
luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari
oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang
dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat
dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang
menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak
program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan
didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya
ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang
menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang
memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa
bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran
tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan
tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat
dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai
didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga
kependidikan yang lulusannya mampu
melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas
professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan
mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli,
termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan
serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang
mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti
telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat
asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta
implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang
dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi
program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan
pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.
Penutup
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang
seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta
melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya
mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi,
sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan
konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka
konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin
didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan,
baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua
keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.
Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dfan tenaga
kependidikan harus memperoleh persiapan
pra-jabatan guru dfan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat
asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang
lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.
DAFTAR REFERENSI
Bogdan & Biklen (1982) Qualitative
Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon
Campbell & Stanley (1963) Experimental
& Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly
Deese, J (1978) The Scientific
Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Gordon, Thomas (1974) Teacher
Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub
Henderson, SVP (1954) Introduction
to Philosophy of Education.Chicago : Univ. of Chicago Press
Hidayat Syarief (1997) Tantangan
PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional
Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G (l954), Seni Mendidik
(terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan
Kemeny,JG, (l959), A Philosopher Looks at Science, New
Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki
Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis
Luhur
Ki Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana
Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud
Kuhn,
Ts, (l969), The Structure of Scientific Revolution, Chicago:Chicago
Univ.
Langeveld, MJ, (l955), Pedagogik Teoritis
Sistematis (terjemahan), Bandung, Jemmars
Liem Tjong Tiat, (l968), Fisafat
Pendidikan dan Pedagogik, Bandung, Jurusan FSP FIP IKIP Bandung
RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesionalTenagaKependidikan:Permasalahan
dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta,
Depdikbud
No comments:
Post a Comment