BAB I
PENDAHULUAN
Konstruktivisime
adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan
adalah bentukan kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan
juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari
kontruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori,
konsep dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Pengetahuan
tidak bisa ditransfer begitu saja,melainkan harus diinterpretasikan sendiri
oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang
sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses
itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh
gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan,
melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut.Peran guru
dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai
fasilitator, yang menyediakan stimulus
baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika peserta didik,
mengalami kesulitan belajar, ataupun menyediakan media dan materi pembelajaran
agar peserta didik itu merasa termotivasi, tertarik untuk belajar sehingga
pembelajaran menjadi bermakna dan ahirnya peserta didik tersebut mampu
mengkontruksi sendiri pengetahuaanya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISIME
Menurut paham konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak
dipindahkan dari guru kepada murid dalam
bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membina sesuatu
pengetahuan mengikuti pengalaman
masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan
guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan
sekolah ialah satu skema yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan
dan pengabstrakan. Murid tidak akan berpikir untuk menghadapi
realita yang berwujud asing disekitarnya. Realita yang
diketahui murid adalah realita yang dibina
sendiri. Murid
sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur
kognitif terhadap lingkungan sekitar mereka. Untuk
membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah
disesuaikan dan diserap untuk dijadikan
sebagian pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang suatu bentuk ilmu
pengetahuan dapat dibina.
B. TOKOH-TOKOH DALAM TEORI KONTRUKTIVISME
1.
Jean Piaget
Salah satu
teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme
adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori
perkembangan intelektual. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak
untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir
hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi
dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada
tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya,
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam
pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan
informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali
struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut
mempunyai tempat. Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan
skema baru yang cocok dengan rangsangan baru
atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan.
Lebih jauh
Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat
dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi
ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1)
Siswa tidak
dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2)
Belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3)
Pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
4)
Pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
5)
Kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan
seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif
untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
a.
perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama.
Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama,
b.
tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual dan
c.
gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
2.
Vygotsky
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan
bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan
ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Beberapa
ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang
bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid. Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka
sendiri tentang hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang
salah. Jika kepahaman dan miskonsepsi ini diabaikan
atau tidak ditangani dengan baik, kepahaman atau
kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka mungkin memberi jawaban seperti
yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey
menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik yang cekap
harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau
membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan
penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran
dan pembelajaran.
Dari
persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan
berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran,
penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh,
perspektif ini akan mengubah kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu
kepada kejayaan murid meniru dengan
tepat apa saja yang disampaikan oleh guru kepada kaedah pengajaran dan
pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid membina skema pengkonsepan
berdasarkan kepada pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penyelidikan daripada pembinaan model daripada kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep daripada kaca mata murid.
C. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1. Kelebihan
Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah,
mengembangkan ide dan membuat
keputusan.
Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan
aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka
lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru. Kemahiran sosial diperoleh apabila interaksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru. Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.
2. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin
bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu
sepertinya kurang begitu mendukung. Pada bagian ini akan dibahas proses belajar
dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru,
sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.
Proses belajar kontruktivistik
secara konseptual adalah proses
belajar yang bukan merupakan perolehan
informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang
terlepas-lepas.
2.
Peranan siswa. Menurut pandangan ini
belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus
dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir,
menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru
memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi
peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.
Peranan guru. Dalam pendekatan ini
guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan
oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah
dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
4.
Sarana belajar. Pendekatan ini
menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa
dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan,
media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu
pembentukan tersebut.
5.
Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan
bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan
interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta
aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
D. PERBANDINGAN
OBJEKTIVISME DENGAN KONSTRUKTIVISME
Paradigma
pendidikan masa kini adalah kebanyakan merupakan paradigma objektivisme.
Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan. Perbedaan antara objektivisme dengan konstruktivisme sangat nyata. Objektivisme berdasarkan tanggapan wujud pengetahuan di
luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini,proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalurkan pengetahuan dari pendidik kepada murid.
Ahli
objektivisme berpendapat bahwa apa yang perlu diajar dan siapa yang patut
mengajar dibuat oleh pakar yang
semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan murid tidak dapat melihat
keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak pakar. Model autoritarian
ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat
penting. Murid beranggapan guru mempunyai segala jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan
berpengetahuan luas.
Dari
pandangan ahli konstruktivisme, setiap murid
mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan diberikan kepada murid dengan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan pengalaman lampau mereka dengan kegunaan
masa depen. murid bukan hanya dibekali dengan
fakta-fakta saja, sebaliknya penekanan diberikan kepada
proses berfikir dan kemahiran berkomunikasi. Selanjutnya murid
bersama-sama menentukan perkara
penting yang harus dipelajari dan tujuan mempelajarinya. Dalam proses ini murid
akan mengalami prosedur yang digunakan oleh seorang saiantis seperti
menyelesaikan masalah dan memeriksa hasil yang diperoleh.
Melalui
penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah peranannya dalam sains.
Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini,
guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan.
Justru itu guru akan memperoleh kemahiran untuk membina dan mengubah kepahaman serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses
pembinaan dan pengubahs konsep merupakan satu proses berterusan dalam
kehidupan.
Dalam paradigma
konstruktivisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber
pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh
disesuaikan dan boleh berubah. Mereka juga sadar bahwa
mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menggunakan berbagai cara memproses dan menyelesaikan
masalah. Dalam kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan
pembimbing. Hubungan guru dengan murid boleh diumpamakan sebagai hubungan di
antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing
dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna.
Kebanyakan
teknik penilaian sekarang adalah berdasarkan paradigma objektivisme. Dalam
pengujian yang dijalankan, murid akan diuji sama,mereka dapat
memberikan jawaban yang dikehendaki
oleh pembuat soal. Mereka juga dianggap mempunyai tafsiran yang
sama dengan pembuat soal tentang apa yang dikehendaki
dalam soal. Dengan demikan, soal-soal ujian tidak sebenarnya
menguji kepahaman dan pengetahuan murid, tetapi
hanya menguji kemahiran murid untuk membekalkan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal.
Menurut
teori konstruktivisme, penilaian harus meliputi cara
menyelesaikan masalah. Pandangan
ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru
adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin murid dengan
sempurna. Murid diterima sebagai individu
yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana
setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi
perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri
tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka
akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
Sebaliknya
ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai pengawal
disiplin kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan
undang-undang yang ditetapkan.Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan
konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan
pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh
suatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kepahaman orang
lain supaya kepahamannya tentang sesuatu bidang
pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
E. HAKIKAT
PEMBELAJARAN MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan
tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan
dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut.
1. Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2. Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna.
3. Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung
pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan
teori belajar konstruktivisme.
1. Pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa.
2. Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua
pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain
penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu
1. siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2.
pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. strategi
siswa lebih bernilai,
4. siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling
bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan
teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir
tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba
gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan
yang telah dimiliki siswa,
(5) mendorong
siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
BAB III
KESIMPULAN
Pembelajaran
yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan
siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.
Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri
pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
No comments:
Post a Comment