Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 22, 2012

makalah hubungan muslim dan sains

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN
Muslim adalah seseorang yang berserah diri (kepada Allah), termasuk segala makhluk yang ada di langit dan bumi. Pada zaman sekarang kalimat muslim merujuk kepada penganut agama Islam. Muslim sebutan untuk pria Islam sedangkan muslimah sebutan untuk wanita Islam. Sedangkan Sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian. Sains merupakan  produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam seperti merumuskan masalah, merumuskan hipotssesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
Hubungan muslim dan sains sebagai seperangkat hubungan dinamis yang muncul dari konsep pengetahuan Islam tertentu (dalam hal ini, pengetahuan ilmiah) yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tugas sebagai ilmuwan ialah naluri untuk memperoleh pengetahuan yang selalu menjadi penggerak utama untuk menjelajahi alam dunia.
Secara umum, model alam semesta ini bagi seorang ilmuwan Muslim adalah sebagai kerangka kerja dan integrasi data ilmiah tentang bintang ke alam semesta yang lebih besar adalah apa yang dimaksud dengan “pengolahan” data berdasarkan kesucian wahyu. Ilmuwan melakukan pengamatan dan pengukuran tujuannya untuk  memajukan pengetahuan, di samping itu seorang muslim adalah manusia yang berada dalam masyarakat yang memiliki kebutuhan tertentu berupa berkah dari pendidikannya, pelatihan, sumber daya material, dan preferensi pribadi yang harus dipenuhi, serta berharap apa yang dipelajari akan memberi umpan balik positif atas usahanya.
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Ada yang berpendapat  bahwa kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Ada juga yang berpendapat  bahwa kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris.
Selama ini segala ilmu pengetahuan yang kita ketahui adalah berkat hasil karya atau temuan orang-orang barat. Kita beranggapan bahwa orang-orang barat adalah orang-orang yang cerdas dan memiliki andil yang paling besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini.
  

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
            2.1.1. Pengertian Muslim
Muslim dalam bahasa arab adalah secara harfiah berarti "seseorang yang berserah diri (kepada Allah)", termasuk segala makhluk yang ada di langit dan bumi (QS Al-Imran 3:83, 1:2).
Pada zaman sekarang kalimat muslim merujuk kepada penganut agama Islam. Muslim sebutan untuk pria Islam sedangkan muslimah sebutan untuk wanita Islam.
Dalam arti lain seorang muslim artinya orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah kepada Tuhan, tetapi dalam tingkatan manusia ber­kualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Karakteristik seorang muslim adalah seorang yang telah meyakini supremasi kebenaran, berusaha untuk mengikuti jalan kebe­naran itu, tetapi dalam praktek ia belum tangguh karena ia masih suka melupakan hal-hal yang kecil. Sedangkan seorang yang sudah mencapai kualitas mukmin adalah seorang muslim yang sudah istiqamah atau konsisten dalam berpegang kepada nilai-nilai kebenaran, sampai kepada hal-hal yang kecil.




2.1.2. Pengertian Sains
Kata sains berasal dari bahasa latin “scientia” yang berarti pengetahuan. Ada pula yang mendefinisikan sains adalah “pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian” atau “pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah. Sains dalam hal ini merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena yang terjadi di alam .
Pengertian sains juga merujuk kepada susunan pengetahuan yang orang dapatkan melalui metode tersebut, atau bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu pengetahuan yang didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.
Sains dengan definisi diatas sering kali disebut dengan sains murni, untuk membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya diklasifikasikan menjadi dua yaitu:
-          Natural sains atau Ilmu Pengetahuan Alam
-          Sosial sains atau ilmu Pengetahuan social
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
Ilmu berkembang dengan pesat, yang pada dasarnya ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam ilmu-ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi menjadi dua kelompok yaitu ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam ialah ilmu yang mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan ilmu hayat mempelajari makhluk hidup didalamnya. Ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit dan ilmu bumi), (the earth sciences) yang mempelajari bumi kita.
2.2. Hubungan antara muslim (islam) terhadap sains
Dengan menggunakan kategori-kategori konseptual yang melekat dalam Islam untuk memahami apakah suatu pengetahuan itu ilmiah atau tidak kita bisa merumuskan pertanyaan tentang hubungan Islam dan sains. Pengetahuan dalam bahasa Arab adalah ilm, sebuah kata yang sering muncul dalam Al-Quran. Pengetahuan dianggap sangat penting; “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”, sebuah ayat Al-Quran memberitahu kita (QS. 39:9).Nabi SAW mengatakan bahwa “ulama adalah pewaris para nabi”. Nabi SAW juga menyarankan muslim untuk “mencari pengetahuan semenjak buaian sampai ke liang kubur”. Mengakuisisi pengetahuan merupakan manifestasi keluhuran budi, karena hal itu memuliakan kemanusiaan dan melayani kebutuhannya. Dalam kasus tertentu, sejumlah pengetahuan Islam dianggap penting bagi masyarakat, berbagai ilmu pengetahuan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat. Pengakuan ini menghasilkan dua kategori kewajiban yaitu pribadi dan komunal. Kewajiban pribadi (fard ‘ayn) dari orang yang percaya untuk memiliki sejumlah pengetahuan dari dîn-nya tetapi tidak setiap orang wajib memiliki keahlian dalam astronomi atau matematika,  karena hal ini kewajiban dari suatu komunitas. Jadi dapat dipastikan bahwa mewujudkan pengetahuan ilmiah apakah melanjutkan pemahaman tentang sistem kerjanya atau hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis masyarakat menjadi tugas “agama” bagi seluruh masyarakat. Dengan demikian, sejumlah individu tertentu dari masyarakat harus mempersiapkan hal itu dengan keuangan cukup, logistik memadai, dan dukungan moral dari seluruh masyarakat. Hal ini akan menjadi kewajiban agama yang menyediakan hubungan antara Islam dan pencarian pengetahuan ilmiah.
Skema konseptual “interaksi sains dan agama” muncul dari pemahaman dasar tentang sifat dan fungsi pengetahuan untuk menghapus dualitas yang melekat dalam model dua entitas, dan memungkinkan kita untuk memahami upaya ilmiah dari para ilmuwan Muslim dan ulama periode klasik dengan istilah mereka sendiri. “Saya membatasi buku ini”, tulis Al-Khawarizmi dalam pengantar Algebra, “untuk keperluan menghitung warisan, bagian menilai dalam perdagangan dan semua urusan satu sama lain yang melibatkan pengukuran tanah, menggali kanal, dan perhitungan geometris, dan hal-hal lainnya”. Ketika menulis bukunya sebagai perintis ilmu aljabar.
Bisa dikatakan bahwa tidak semua ilmuwan Muslim melihat penelitian ilmiah seperti ini, adakalanya mereka tertarik kepada sains hanya untuk kepentingan sendiri, atau mereka hanya mengejar karier, atau sebagai penghidupan untuk keluarganya. Meskipun begitu, banyak juga ilmuwan muslim yang memiliki komitmen terhadap Islam dengan bersungguh-sungguh membuat kerangka konseptual sains islami. Dua kategori yang disebutkan di atas (kewajiban pribadi atau fard ‘ain dan kewajiban komunal atau fard kifayah) adalah istilah-istilah sesuai dengan hukum Islam yang tertanam dalam sistem kepercayaan dan praktek Islam.
 Hubungan muslim dan sains merupakan hubungan organik antara sains, ilmuwan, serta keimanan dan prakteknya. Di satu sisi, hubungan itu adalah antara apa yang seorang individu persepsikan sebagai kewajiban pribadinya dan perannya dalam memenuhi kewajiban komunal . Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada ketegangan atau konflik di dalam ilmiah tradisi Islam. Pandangan Islam terhadap semua sains apakah ilmiah atau sebaliknya melalui perspektif unik yang memiliki kesatuan pengetahuan, arah, dan tujuan tertentu. Metodologi yang diusulkan di sini adalah mengeksplorasi hubungan muslim dan sains sebagai seperangkat hubungan dinamis yang muncul dari konsep pengetahuan Islam tertentu (dalam hal ini, pengetahuan ilmiah) yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tugas sebagai ilmuwan untuk memenuhi kebutuhan ini, dan naluri memperoleh pengetahuan yang selalu menjadi penggerak utama untuk menjelajahi alam dunia.
Secara umum, model alam semesta ini bagi seorang ilmuwan Muslim adalah sebagai kerangka kerja dan integrasi data ilmiah tentang bintang ke alam semesta yang lebih besar adalah apa yang dimaksud dengan “pengolahan” data berdasarkan kesucian wahyu. Ilmuwan melakukan pengamatan dan pengukuran untuk tujuan memajukan pengetahuan, di samping itu ia adalah manusia yang berada dalam masyarakat yang memiliki kebutuhan tertentu berupa berkah dari pendidikannya, pelatihan, sumber daya material, dan preferensi pribadi yang harus dipenuhi, serta berharap apa yang dipelajari akan memberi umpan balik positif atas usahanya.

2.3. Sikap muslim terhadap sains
Masuknya sains modern ke dalam dunia Islam pada permulaan abad ke-19 diiringi bermacam-macam reaksi. Namun demikian, kandungan filosofisnyalah, dan bukan oleh sains modern itu sendiri, yang mempengaruhi pandangan-pandangan kaum intelektual Muslim. Karena itu, kita bisa mendengar sikap yang berbeda-beda di seluruh dunia Islam. Memasuki era modern, sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya. Di sini kita membagi reaksi kaum intelektual tersebut ke dalam empat aliran besar:
1)      Kelompok minoritas ulama yang enggan bersentuhan dengan sains modern, karena menganggap sains modern bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bagi mereka, masyarakat Islam harus mengikuti ajaran Islam dengan ketat dan mengharuskan umat Islam memiliki sainsnya sendiri.
2)      Kelompok intelektual Islam yang mengadopsi habis-habisan sains modern dan mengkampanyekan pandang dunia yang bersifat empiris. Menurut mereka, menguasai sains modern merupakan satu-satunya solusi untuk melepaskan dunia Islam dari stagnasi. Mereka memandang sains modern sebagai satu-satunya sumber pencerahan yang sejati.
3)      Sejumlah ilmuan Muslim yang mengakui peran sentral sains modern terhadap kemajuan Barat dan menganjurkan asimilasi sains modern, meskipun tetap menaruh perhatian terhadap masalah-masalah keagamaan. Kelompok ini terdiri dari mayoritas intelektual Muslim yang dapat dibagi lagi sebagaimana berikut:
·         Sejumlah pemikir Muslim, seperti Seyyed Jamal al-Din dan Rasyid Rida, berusaha memberi justifikasi terhadap sains modern berdasarkan landasan keagamaan. Mereka memandang sains modern sebagai kelanjutan dari sains yang dihasilkan peradaban Islam masa lalu. Oleh karenanya, mereka menganjurkan umat Islam mempelajari sains modern agar dapat menjaga independensi mereka dan melindungi dari kritisisme kaum orientalis dan sejumlah intelektual Muslim yang sekuler.
·         Sejumlah pemikir berusaha melacak semua penemuan sains yang penting di dalam Al-Qur’an dan hadis. Keinginan mereka adalah untuk menunjukkan keselarasan sains modern dengan ajaran Islam dan membuktikan bahwa temuan-temuan sains modern dapat digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek keimanan. Kelompok ini yakin bahwa beberapa hasil yang telah dicapai oleh sains modern telah disebutkan terlebih dahulu oleh Al-Qur’an dan Nabi Muhammad pada empat belas abad yang lalu, sebagai bukti keistimewaan wahyu kenabian. Pandangan semacam ini masih tetap hidup di beberapa masyarakat Muslim.
·         Para ulama berusaha mereinterpretasi sejumlah isu-isu teologi Islam dalam perspektif sains modern. Ulama India, Sir Seyyed Ahmad Khan, menggulirkan teologi alam untuk mereinterpretasi prinsip-prinsip dasar agama Islam dalam bingkai sains modern sebagaimana dapat disaksikan dalam tafsir Al-Qur’annya.
4)      Terakhir, para filsuf Islam yang membedakan antara penemuan sains modern dengan pandangan filosofis sains modern tesebut. Karena itu, meskipun mereka menganjurkan pencarian rahasia-rahasia semesta melalui ekperimentasi dan teori-teori ilmiah, mereka juga bersifat kritis terhadap berbagai penafsiran empiristik dan materialistik yang mengatasnamakan sains. Dalam pandangan mereka, pengetahuan ilmiah memang dapat mengungkapkan beberapa aspek dunia fisik, namun sains saja tidak dapat memberikan gambaran sempurna tentang realitas. Sains harus dikombinasikan dengan pandang dunia Islam agar memperoleh gambaran komprehensif mengenai realitas. Ayatullah Muthahhari merupakan penganjur terkemuka pendapat ini.
Ø  sikap Muthahhari terhadap Sains Modern
Sementara sejumlah ulama sibuk mengadaptasikan Al-Qur’an dan hadis dengan penemuan sains modern, Muthahhari lebih memperhatikan masalah-masalah fundamnetal dalam sains yang dapat menimbulkan persilangan pendapat antara para ilmuwan dan para ulama. Ia percaya bahwa pandangan filosofis terhadap ilmu lebih sering menjadi sumber konflik daripada ilmu itu sendiri. Oleh karenanya, Muthahhari senantiasa mencari asumsi-asumsi filosofis yang tersembunyi dalam berbagai argumen.
Ø  Ilmuwan muslim tebagi menjadi tiga kelompok:
·         Pertama, kelompok muslim yang apologetik, kelompok ini menganggap sains modern bersifat universal dan netral. Oleh karena itu mereka berusaha melegitimasi hasil-hasil sains modern dengan mencari-cari ayat al-Qur’an yang sesuai dengan teori dalam sains tersebut.
·         Kedua, kelompok yang masih bekerja dengan sains modern, tetapi berusaha juga mempelajari sejarah dan filsafat ilmunya agar dapat menyaring elemen-elemen yang tidak Islami, maka fungsinya termodifikasi, sehingga dapat dipergunakan untuk melayani kebutuhan dan cita-cita Islam. Tetapi karena dengan eksperimen-eksperimen dan teknik-teknik yang kuantitatif sekalipun ia tidak lepas dari nilai-nilai, alih-alih mampu merealisasikan Islam, sains modern malah akan menjadi pendukung nilai-nilai Barat yang tak Islami.
·         Ketiga, kelompok yang percaya adanya sains Islam dan berusaha membangunnya.
Berbicara tentang sains Islam dan bagaimana proses membangunnya, kiranya tidak akan lepas dari adanya upaya Islamisasi ilmu. Walaupun dalam hal ini terdapat kontroversial antara yang setuju dan yang tidak diantara para ilmuwan ada yang setuju untuk menyesuaikan aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu dengan ajaran Islam dan ada pula yang tidak menyetujui gagasan islamisasi ilmu, karena menurut mereka yang harus diislamkan adalah manusianya, bukan ilmunya. Keengganan ini tampaknya disebabkan sensitivitas terminologi tersebut dari segi objektivitas ilmiah. Sedangkan kelompok yang setuju disebabkan oleh sensitivitasnya dari segi rasa keagamaan, sehingga harus diikuti kalau memanga hendak bereksistensi sebagai seorang muslim.
Islamisasi ilmu merupakan suatu keharusan. Disamping Islam mempunyai pengarahan dalam aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu, dan masuknya ajaran Islam dalam aktivitas ilmiah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah. Disamping itu, Kemajuan Islam di zaman klasik atau abad pertengahan Masehi dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban telah dipahami sebagai hasil usaha merealisasikan ajaran islam itu sendiri, maka untuk keluar dari keterbelakangan saat ini  adalah dengan semangat kembali kepada Islam.
2.4. Peran muslim terhadap ilmu pengetahuan (sains)
Selama ini segala ilmu pengetahuan yang kita ketahui adalah berkat hasil karya atau temuan orang-orang barat. Kita beranggapan bahwa orang-orang barat adalah orang-orang yang cerdas dan memiliki andil yang paling besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan saat ini. Misalnya Isaac Newton, orang yang telah menemukan adanya gaya gravitasi dan telah merumuskannya dalam suatu hukum yang telah kita kenal sebagai Hukum Newton I,II, dan III, atau Galileo Galilei yang fenomenal dalam ilmu astronomi karena telah mencetuskan bahwa bumi itu bulat. Tapi pernahkah kita mendengar nama-nama ilmuan islam seperti Ibnu Sina bapak kedokteran dunia,Jabir ibn Hayyan sebagai seorang ahli kimia, dan Al-Khawarizm sebagai orang yang telah menemukan ilmu algoritma dan aljabar?  Mungkin sebagian dari kita telah mendengarnya, tetapi itu  hanya sebagian kecil orang yang menyadari bahwa ilmuan-ilmuan islam telah membuahkan banyak sekali karya-karyanya dalam ilmu pengetahuan sehingga kita dapat merasakan peradaban yang begitu maju saat ini.Untuk membahas itu semua mari kita mulai dari awal mula berkembangnya sains dan peradaban dunia yaitu berawal pada zaman Nabi Muhammad Rasulullah SAW.


I.     Perkembangan Ilmu Pengetahuan Pada Zaman Rasulullah SAW

Pada masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW, seluruh dunia Arab tenggelam dalam kebodohan. Sebagian besar masyarakatnya tidak bisa membaca dan menulis. Mereka juga menyembah berhala dan beranggapan bahwa berhala tersebut dapat mengabulkan segala keinginan mereka. Karena kondisi yang demikian itulah bangsa Arab mendapat julukan sebagai bangsa jahiliyah atau bangsa yang bodoh. Tetapi setelah Allah SWT mengutus Muhammad menjadi seorang rasul, secara perlahan-lahan tabir kebodohan itu pun tersingkap. Bahkan  seperti yang telah kita ketahui bersama, wahyu yang pertama kali turun pun, yaitu surat Al-Alaq:1-5, memerintahkan kita untuk membaca. Kita semua juga tahu bahwa membaca adalah jendela ilmu pengetahuan dan jendela peradaban. Betapa islam adalah agama yang mulia yang memperhatikan segala kepentingan hidup kita yang salah satunya adalah membaca. Perlahan-lahan masyarakat Arab mulai mempelajari baca tulis. Mereka menuliskan wahyu-wahyu yang turun di atas kulit, tulang-belulang,  pelepah kurma, dan lain-lain. Selain itu Rasulullah juga memerintahkan para sahabat untuk menghafal Al-Qur’an agar kemurniannya tetap terjaga. Dengan semangat itulah, maka terbangun jiwa umat islam untuk tidak hanya beriman tetapi juga berilmu. Dari upaya-upaya tersebut mulailah dibangun peradaban manusia yang tadinya buta huruf, akhirnya menjadi bangsa yang pandai baca tulis.  Pada masa Nabi Muhammad SAW ini terlahir banyak sekali ilmuwan-ilmuwan muslim pada bidang agama, karena pada masa ini perkembangan ilmu pengetahuan terpusat pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Pada bidang tafsir yang paling terkenal adalah tafsir Ali bin Abi Thalib, pada bidang hukum dan pemerintahan kita kenal Umar bin Khattab, pada bidang fiqh ada Aisyah binti Abu Bakar, pada bidang hadits kita juga mengenalAbu Hurairah, dan masih banyak lagi ilmuwan-ilmuwan pada zaman Rasulullah SAW.

II.  Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Manusia Setelah Masa Rasulullah SAW dan Para Sahabat

Setelah masa pemerintahan Khulafaurrasyidin terdapat dua dinasti besar yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan sains dan peradaban manusia, yakni Dinasti Bani Umayyah dan Dinasti Bani Abbasiyah. Pada massa dinasti Bani Umayyah ilmu pengetahuan mulai berkembang, tidak hanya berkisar pada ilmu-ilmu agama tetapi juga telah dikembangkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu sejarah, bahasa, dan filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya atas jasa orang arab, tetapi juga terdapat jasa-jasa orang non-arab yang biasa kita sebut sebagai mawali.
Pada ilmu hadits misalnya, ada Imam Bukhari dan Imam Muslim yang keduanya bukan orang arab. Imam Bukhari berasal dari Bukhara yang terdapat disuatu daerah yang sekarang kita kenal sebagai Rusia.  Pada zaman Dinasti Abbasiya ilmu pengetahuan dan peradaban islam semakin bertambah pesat dan menjadi masa keemasan islam. Ilmu pengetahuan begitu diperhatikan dan lebih diperkaya lagi. Para khalifah dinasti ini membuka kesempatan seluas-luasnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada pemerintahan khalifah Ja’far Al-Mansyur pusat pemerintahan dipindahkan ke Baghdad sehingga Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pusat peradaban pada saatitu. Dinasti ini mencapai puncak keemasan pada kekhalifahan Harun Al-Rasyid. Ilmu nahwu yang kita pelajari saat ini sebenarnya adalah buah karya seorang ilmuwan yang bernama Abu Al-Aswad Ad-Duali. Ilmu nahwu merupakan sebuah ilmu yang mempelajaritata bahasa arab yang baik dan benar. Pada dinasti ini lahir pula empat ulama ahli fiqh (fuqaha) yang masih kita kenal hukum-hukumnya hingga saat ini atau biasa disebut empat madzhab, yaitu: Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad Bin Hambal.
Selain itu banyak pula ilmuwan-ilmuwan pada bidang ilmu selain ilmu agama. Pada bidang  kedokteran ada seorangi lmuawan yang amat terkenal hingga menjadi panutan bagi ilmuwan-ilmuwan barat, beliau adalah Ibnu Sina atau Avicenna pada pelafalan barat. Beliau telah menulis sebuah buku segala seluk-beluk bidang kedokteran yang berjudul Al-Qanun fi Ath-Thib dan telah diterjemahkan menjadi  berbagai bahasa dan telah menjadi rujukan selama berabad-abad. Selanjutnya ada juga seorang ahli filsafat yang bernama Ibnu Rusyd atau dikenal Averroes pada pelafalan orang barat. Filsafatnya telah mempengaruhi banyak filsuf kristen seperti St.Thomas Aquinas. Pada bidang matematika ilmuwan yang paling fenomenal adalah Al-Khawarizm atau Algorizm. Beliaulah yang mengembangkan ilmu algoritma dan aljabar. Serta seorang ilmuan yang bernama Jabir Ibnu Hayyan, beliau adalah Bapak Kimia islam. Selain kemajuan dalam bidang-bidang sains juga terdapat kemajuan pada bidang arsitektur. Pada masa itu dibangun sebuah masjid dengan arsitektur seperti sarang lebah dan masjid tersebut diberi nama Masjid Samara. Kata Samara tersebut merupakan singkatan dari Sarra Man Roa yang artinya ‘terpesonalah yang melihatnya’. Dari beberapa penjabaran di atas akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa islam bukanlah agama yang terbelakang yang tidak memperhatikan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan selain ilmu agama. Islam adalah agama yang amat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Bukti-buktinya banyak sekali terdapat dalam Al-Qur’an. Banyak sekali penemuan-penemuan penting baru-baru ini yang sebenarnya telah tertulis dalam Al-Qur’an yang bahkan usianya sudah 14 abad. Disamping itu bahkan universitas tertua di dunia merupakan universitas yang didirikan oleh umat muslim dan masih berdiri hingga sekarang. Univrsitas tersebut berlokasi di Kairo, Mesir dan bernama Unniversitas Al-Azhar. Penjelasan tadi juga membuka mata kita bahwa sebenarnya ilmuwan-ilmuwan islamlah yang sebenarnya menginspirasi ilmuwan-ilmuwan yang kita kenal sekarang ini. Mengapa saat umat islam saat ini lebih terbelakang daripada orang-orang barat? Jawabannya adalah kita tidak menjaga dan tidak menghargai ilmu-ilmu yang telah dikembangkan oleh umat-umat muslim terdahulu sehingga orang-orang non-muslim yang lebih menghargainya dan merawatnya menjadi lebih unggul dibandingkan dengan umat islam saat ini.
 
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan 
Muslim artinya orang yang telah berpasrah diri, dalam hal ini berpasrah kepada Tuhan, tetapi dalam tingkatan manusia ber­kualitas, seorang yang baru pada tingkat muslim berada pada tingkatan terendah. Sedangkan sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan, sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan.
 Hubungan muslim dan sains merupakan hubungan organik antara sains, ilmuwan, serta keismanan dan prakteknya. Di satu sisi, hubungan itu adalah antara apa yang seorang individu persepsikan sebagai kewajiban pribadinya dan perannya dalam memenuhi kewajiban komunal . Tetapi, hal ini bukan berarti tidak ada ketegangan atau konflik di dalam ilmiah tradisi Islam. Pandangan Islam terhadap semua sains apakah ilmiah atau sebaliknya melalui perspektif unik yang memiliki kesatuan pengetahuan, arah, dan tujuan tertentu.
Sikap kaum Muslim terhadap sains terpecah menjadi tiga. Ada yang anti dan menolak mentah-mentah, ada yang menelan bulat-bulat tanpa curiga sedikitpun, dan ada yang menerima dengan penuh kewaspadaan. Sikap yang pertama maupun yang kedua kurang tepat karena sama-sama ekstrim. Sikap yang paling bijak adalah bersikap adil, pandai menghargai sesuatu dan meletakkannya pada tempatnya.
                  
 
DAFTAR PUSTAKA





0 comments: