Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 22, 2012

makalah “Teori Belajar Menurut Aliran Konstruktivisme dan Landasan Filosofinya”

0 comments

BAB I
PENDAHULUAN

Konstruktivisime adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan kita sendiri. Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari kontruksi kognitif melalui kegiatan individu dengan membuat struktur, kategori, konsep dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja,melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing individu. Pengetahuan juga bukan merupakan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses itu keaktifan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Banyak peserta didik yang salah menangkap apa yang diberikan oleh gurunya. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan tidak begitu saja dipindahkan, melainkan harus dikonstruksikan sendiri oleh peserta didik tersebut.Peran guru dalam pembelajaran bukan pemindahan pengetahuan, tetapi hanya sebagai fasilitator,  yang menyediakan stimulus baik berupa strategi pembelajaran, bimbingan dan bantuan ketika peserta didik, mengalami kesulitan belajar, ataupun menyediakan media dan materi pembelajaran agar peserta didik itu merasa termotivasi, tertarik untuk belajar sehingga pembelajaran menjadi bermakna dan ahirnya peserta didik tersebut mampu mengkontruksi sendiri pengetahuaanya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN BELAJAR MENURUT TEORI KONSTRUKTIVISIME
Menurut paham konstruktivisme, ilmu pengetahuan sekolah tidak dipindahkan dari guru kepada murid dalam bentuk yang serba sempurna. Murid perlu membina sesuatu pengetahuan mengikuti pengalaman masing-masing. Pembelajaran adalah hasil daripada usaha murid itu sendiri dan guru tidak boleh belajar untuk murid. Blok binaan asas bagi ilmu pengetahuan sekolah ialah satu skema yaitu aktivitas mental yang digunakan oleh murid sebagai bahan mentah bagi proses renungan dan pengabstrakan. Murid tidak akan berpikir untuk menghadapi realita yang berwujud asing disekitarnya. Realita yang diketahui murid adalah realita yang dibina sendiri. Murid sebenarnya telah mempunyai satu set ide dan pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan sekitar mereka. Untuk membantu murid membina konsep atau pengetahuan baru, guru harus mengambil struktur kognitif yang ada pada mereka. Apabila maklumat baru telah disesuaikan dan diserap untuk dijadikan sebagian pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru tentang suatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
B. TOKOH-TOKOH DALAM TEORI KONTRUKTIVISME
1.      Jean Piaget
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan.
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama yang menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat. Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan rangsangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan. Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver dan Bell mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1)      Siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan,
2)      Belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa,
3)      Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal,
4)      Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
5)      Kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skema yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan;
a.       perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
b.      tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan
c.       gerak melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

2.      Vygotsky

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang. Dalam penjelasan lain mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Beberapa ahli konstruktivisme yang terkemuka berpendapat bahwa pembelajaran yang bermakna itu bermula dengan pengetahuan atau pengalaman sedia ada murid. Rutherford dan Ahlgren berpendapat bahawa murid mempunyai ide mereka sendiri tentang hampir semua perkara, di mana ada yang betul dan ada yang salah. Jika kepahaman dan miskonsepsi ini diabaikan atau tidak ditangani dengan baik, kepahaman atau kepercayaan asal mereka itu akan tetap kekal walaupun dalam pemeriksaan mereka mungkin memberi jawaban seperti yang dikehendaki oleh guru.
John Dewey menguatkan lagi teori konstruktivisme ini mengatakan bahawa pendidik yang cekap harus melaksanakan pengajaran dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman secara berterusan. Beliau juga menekankan kepentingan penyertaan murid di dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dari persepektif epistemologi yang disarankan dalam konstruktivisme fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penyelidikan dan cara melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid meniru dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru kepada kaedah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kejayaan murid membina skema pengkonsepan berdasarkan kepada pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan penyelidikan daripada pembinaan model daripada kaca mata guru kepada pembelajaran sesuatu konsep daripada kaca mata murid.
C. KELEBIHAN DAN KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1.      Kelebihan
Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berpikir untuk menyelesaikan masalah, mengembangkan  ide dan membuat keputusan.
Oleh k
arena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih paham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
Oleh kerana murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru. Kemahiran sosial diperoleh apabila interaksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru. Oleh kerana mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat.

2.      Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung. Pada bagian ini akan dibahas proses belajar dari pandangan kontruktifistik dan dari aspek-aspek si belajar, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar.
1.      Proses belajar kontruktivistik secara konseptual adalah proses belajar yang bukan merupakan perolehan informasi yang berlangsung satu arah dari luar kedalam diri siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada pemuktahiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih dipandang dari segi prosesnya dari pada segi perolehan pengetahuan dari pada fakta-fakta yang terlepas-lepas.
2.      Peranan siswa. Menurut pandangan ini belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep, dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan adalah terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri.
3.      Peranan guru. Dalam pendekatan ini guru atau pendidik berperan membantu agar proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak mentransferkan pengetahuan yang telah dimilikinya, melainkan membantu siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri.
4.      Sarana belajar. Pendekatan ini menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktifitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan, dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut.
5.      Evaluasi. Pandangan ini mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas, kontruksi pengetahuan, serta aktifitas-aktifitas lain yang didasarkan pada pengalaman.
D. PERBANDINGAN OBJEKTIVISME DENGAN KONSTRUKTIVISME
Paradigma pendidikan masa kini adalah kebanyakan merupakan paradigma objektivisme. Paradigma ini gagal menyelesaikan banyak masalah dalam pendidikan. Perbedaan antara objektivisme dengan konstruktivisme sangat nyata. Objektivisme berdasarkan tanggapan wujud pengetahuan di luar persepsi manusia. Menurut pandangan ini,proses pembelajaran dalam paradigma ini hanyalah untuk menyalurkan pengetahuan dari pendidik kepada murid.
Ahli objektivisme berpendapat bahwa apa yang perlu diajar dan siapa yang patut mengajar dibuat oleh pakar yang semestinya mengetahui segala-galanya. Ini menyebabkan murid tidak dapat melihat keperluan belajar sebagaimana yang dilihat oleh pihak pakar. Model autoritarian ini menjadikan guru sebagai sumber pengetahuan dan menjadikan guru sangat penting. Murid beranggapan guru mempunyai segala jawaban bagi semua masalah. Sistem ini gagal melahirkan murid yang produktif dan berpengetahuan luas.
Dari pandangan ahli konstruktivisme, setiap murid mempunyai peranan dalam menentukan apa yang akan mereka pelajari. Penekanan diberikan kepada  murid dengan peluang untuk membentuk kemahiran dan pengetahuan di mana mereka menghubungkan pengalaman lampau mereka dengan kegunaan masa depen. murid bukan hanya dibekali dengan fakta-fakta saja, sebaliknya penekanan diberikan kepada proses berfikir dan kemahiran berkomunikasi. Selanjutnya murid bersama-sama menentukan perkara penting yang harus dipelajari dan tujuan mempelajarinya. Dalam proses ini murid akan mengalami prosedur yang digunakan oleh seorang saiantis seperti menyelesaikan masalah dan memeriksa hasil yang diperoleh.
Melalui penggunaan paradigma konstruktivisme, guru perlu mengubah peranannya dalam sains. Guru mungkin akan berperan sebagai pelajar atau penyelidik. Dengan cara ini, guru akan lebih memahami bagaimana murid membina konsep atau pengetahuan. Justru itu guru akan memperoleh kemahiran untuk membina dan mengubah kepahaman serta berkomunikasi dengan orang lain. Guru akan memahami bahwa proses pembinaan dan pengubahs konsep merupakan satu proses berterusan dalam kehidupan.
Dalam paradigma konstruktivisme, murid menganggap peranan guru sebagai salah satu sumber pengetahuan dan bukan sebagai seorang yang tahu segala-galanya. Mereka menganggap pengetahuan sebagai sesuatu yang boleh disesuaikan dan boleh berubah. Mereka juga sadar bahwa mereka bertanggungjawab terhadap diri sendiri untuk menggunakan berbagai cara memproses dan menyelesaikan masalah. Dalam kata lain, guru berperan sebagai seorang fasilitator dan pembimbing. Hubungan guru dengan murid boleh diumpamakan sebagai hubungan di antara bidan dengan ibu yang melahirkan anak. Guru bertanggung jawab membimbing dan membantu murid mempelajari sesuatu pelajaran dengan bermakna.
Kebanyakan teknik penilaian sekarang adalah berdasarkan paradigma objektivisme. Dalam pengujian yang dijalankan, murid akan diuji sama,mereka dapat memberikan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal. Mereka juga dianggap mempunyai tafsiran yang sama dengan pembuat soal tentang apa yang dikehendaki dalam soal. Dengan demikan, soal-soal ujian tidak sebenarnya menguji kepahaman dan pengetahuan murid, tetapi hanya menguji kemahiran murid untuk membekalkan jawaban yang dikehendaki oleh pembuat soal.
Menurut teori konstruktivisme, penilaian harus meliputi cara menyelesaikan masalah. Pandangan ahli konstruktivisme terhadap disiplin di dalam kelas adalah berbeda dengan ahli objektivisme. Ahli konstruktivisme menganggap peranan guru adalah sebagai pengurus kelas dan boleh menangani hal-hal disiplin murid dengan sempurna. Murid diterima sebagai individu yang mempunyai ciri-ciri perlakuan yang berbeda di mana setiap individu itu diangap penting dalam proses pembelajaran dan perlu diberi perhatian yang wajar. Mereka diberikan peluang untuk membuat keputusan sendiri tentang perkara-perkara yang akan mereka pelajari. Melalui proses ini, mereka akan lebih prihatin, bertanggungjawab dan melibatkan diri dalam aktivitas pembelajaran mereka.
Sebaliknya ahli objektivisme berpendapat bahwa guru harus berperan sebagai pengawal disiplin kelas. Murid tidak ada pilihan kecuali menurut peraturan dan undang-undang yang ditetapkan.Pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaedah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan. Di samping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kepahaman orang lain supaya kepahamannya tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi.
E. HAKIKAT PEMBELAJARAN MENURUT TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut.
1.      Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
2.      Pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna.
3.      Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme.
1.      Pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
2.      Fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu
1. siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki,
2. pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti,
3. strategi siswa lebih bernilai,
 4. siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
(1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri,
(2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif,
(3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru,
(4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa,
 (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
(6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.


 
BAB III
KESIMPULAN
Pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Read more...