Pages

Wednesday, May 23, 2012

Makalah Metode Istinbath Dari Segi Bahasa


MAKALAH
METODE ISTINBATH DARI SEGI BAHASA
Merupakan Tugas Mandiri Sebagai Prasyarat Untuk Mengikuti Ujian Semester pada Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh
Fitri Purnamasari
0841232

Jurusan /Prodi   : Tarbiyah/PBA
Semester         : VII (Tujuh) / Perbaikan

Mata Kuliah
Ushul Fiqh

Dosen Pembimbing
Ibu Siti Nurjanah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai Siwo Metro
2011

BAB I
PENDAHULUAN

Kata istinbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi ahli bahasa Arab dan Fiqh, berarti upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad.
Ayat-ayat al-Qur’an dalam menunjukkan pengertiannya menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada yang melalui arti bahasanya dan ada pula yang melalui maksud hukumnya. Di samping itu, di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan lain yang memerlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Secara garis besar, metode istinbath dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu kebahasaan, segi maqasid (tujuan) syari’ah, dan segi penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Para ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang sangat penting dan akan dikemukakan di sini adalah masalah amar, nahi dan takhyir.









BAB II
PEMBAHASAN
METODE ISTINBATH DARI SEGI BAHASA

Kata istinbath jika dihubungkan dengan hukum, seperti dijelaskan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Fayyumi ahli bahasa arab dan fiqih, berarti  menarik hukum dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan Ijtihad[1].
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa Arab tersebut, para ulama telah menyusun semacam “semantik” yang akan digunakan dalam praktik penalaran fiqih. Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai cara dan dalam berbagai tingkat kejelasannya. Para ahli telah membuat beberapa kategori lafal atau redaksi, diantaranya yang sangat penting dan akan dikemukakan di sini adalah masalah amar, nahi dan takhyir.

A.    Amar, Nahiy dan Takhyir
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga sunnah Rasulullah ada yang berbentuk amar (perintah), nahi (larangan), dan takhyir (memberikan pilihan). Dari tiga kategori ayat-ayat hukum itulah berbentuk hukum-hukum, seperti wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.

1.      Amar (Perintah)
a.      Pengertian
Menurut mayoritas ulama Usul Fiqh, amar adalah[2] :
اللفظ الدا ل على طلب الفعل على جهة الا ستعلاء
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya.

Ada juga yang mengatakan bahwa amar adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan kepada bawahan (thalab al-fi’limin ‘ala ila al-adna)[3].

Perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari Bik dalam bukunya Tarikh al-Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain :
1.     Perintah tegas dengan menggunakan kata amara dan yang seakar dengannya. Misalnya dalam surat an-Nahl : 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran

2.      Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai kata kutiba. Misalnya dalam surat al-Baqarah : 178
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih

3.      Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (jumlah khabariyah), namun yang dimaksud adalah perintah. Misalnya surat al-Baqarah : 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana

4.      Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. Misalnya surat al-Baqarah : 238
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk
5.      Perintah dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai oleh lam al-amr. Misalnya surat al-Hajj : 29
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah)”
6.      Perintah dengan menggunakan kata faradha. Misalnya surat al-Ahzab : 50
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ...
“.....Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu...”
7.      Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan itu adalah baik. Misalnya surat al-Baqarah : 220
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لأعْنَتَكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jika Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
8.      Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak atas pelakunya. Misalnya surat al-Baqarah : 245
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan

b.      Hukum-hukum yang Mungkin ditunjukkan oleh Bentuk Amar
Suatu bentuk perintah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru besar Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian yaitu :
1.      Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk shalat
2.      Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan, seperti surat al-Mukminun : 51
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
3.      Sebagai anjuran, seperti dalam surat al-Baqarah : 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
4.      Untuk melemahkan, seperti dalam surat al-Baqarah : 23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur'an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur'an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
5.      Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya firman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di akhirat nanti sebagai ejekan atas diri mereka dalam surat al-Dukhan : 49
ذُقْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْكَرِيمُ
Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia

c.       Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Amar
Menurut Muhammad Adib Saleh, ada beberapa kaidah yang berhubungan dengan Amar, yaitu :
Kaidah pertama, الاصل فى الا مرللوجوب, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang memalingkannya dari hukum tersebut. Contoh dari surat an-Nisa’ : 77
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ....
“...dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!...”

Kaidah kedua, دلا لةالامرعلى التكراراوالوحدة ,adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?, menurut jumhur ulama fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil itu. Contohnya dalam surat al-Baqarah : 196
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah...”

Kaidah ketiga, دلا لةالامرعلى الفوراوالتراخى, adalah suatu perintah haruskah dilakukan segera mungkin atau bisa ditunda-tunda? Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan. Misalnya dalam surat al-Baqarah : 148
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
“...Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...”

2.      Nahiy (Larangan)
a.      Pengertian
Menurut bahasa, nahiy artinya larangan atau meninggalkan sesuatu. Adapun menurut istilah, nahiy ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya pada yang lebih rendah[4].
Sedangkan Mayoritas ulama ushul fiqh mendefinisikan nahiy[5] :
طلب الكف عن الفعل على جهة الا ستعلا ء بالصيغةالدال عليه
Larangan melakukan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik, Allah juga memakai berbagai ragam gaya bahasa, diantaranya :
1.      Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang seakar dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Seperti dalam surat an-Nahl : 90
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”
2.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Seperti dalam surat al-A’raf : 33
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui"”

3.      Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan. Seperti dalam surat an-Nisa : 19
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”

4.      Larangan dengan menggunakan kata kerja mudhari’ yang disertai  huruf lam yang menunjukkan larangan. Seperti dalam surat al-An’am : 152
وَلا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ
Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa...”

5.      Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk meninggalkan. Seperti dalam surat al-An’am : 120
وَذَرُوا ظَاهِرَ الإثْمِ وَبَاطِنَهُ إِنَّ الَّذِينَ يَكْسِبُونَ الإثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوا يَقْتَرِفُونَ
Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan

6.      Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih. Seperti dalam surat at-Taubah : 34
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“...Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih

7.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. Seperti dalam surat al-Imran : 180
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan

8.      Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. Seperti dalam surat al-Baqarah : 193.
فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوَانَ إِلا عَلَى الظَّالِمِينَ
“...Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang lalim

b.      Beberapa Kemungkinan Hukum yang Ditunjukkan Bentuk Nahiy
Adib Saleh mengemukakan ada beberapa kemungkinan hokum yang ditunjukkan bentuk nahiy yaitu :
1.      Untuk menunjukkan hukum haram, seperti dalam surat al-Baqarah : 221
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran

2.      Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti dalam surat al-Maidah : 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun

3.      Penghinaan, seperti dalam surat al-Tahrim : 7
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”

4.      Untuk menyatakan permohonan, seperti dalam surat al-Baqarah : 286
رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ
“...Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya...”


c.       Kaidah-kaidah yang Berhubungan dengan Nahiy
Muhammad Adib Shalih mengemukakan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan nahiy, yaitu :
Kaidah pertama, فى النهي للتحربمالاصل ,pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain. Contohnya dalam surat al-An’am : 151
وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar

Kaidah kedua, صل فى النهى بطلق الفسا د مطلقاالا  ,suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Contoh larangan itu ialah larangan berzina, larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti larangan shalat dalam keadaan berhadas, baik kecil maupun besar. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan itu bilamana tetap dilakukan.
Kaidah ketiga,  عن الشى ء امربضدهالنهى  ,suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap kebalikannya, seperti dalam surat al-Luqman : 18
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا
“...dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh...”

Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.

3.      Takhyir (Memberi Pilihan)
Menurut Abd. Al-Karim Zaidan, bahwa yang dimaksud dengan takhyir adalah[6] :
ماخير الشارع المكلف بين فعله وتركه
Bahwa syari’ (Allah dan RasulNya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan.

Hukum yang ditunjukkan oleh ayat atau hadis dalam bentuk takhyir itu adalah halal atau mubah (boleh dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam al-Qur’an terdapat berbagai cara, antara lain seperti disebutkan Khudari Bik adalah :
a.       Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan, misalnya dalam surat al-Baqarah : 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-istri kamu...”

b.      Pembolehan dengan menafikan dosa dari suatu perbuatan, misalnya dalam surat al-Baqarah : 173
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“...Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

c.       Pembolehan dengan menafikan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan. Contohnya dalam surat al-Baqarah : 235
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu...”

Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi dengan sindiran bukan terus terang.


 BAB III
PENUTUP

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1.      amar adalah perintah atau tuntutan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya, seperti dari atasan kepada bawahan (thalab al-fi’limin ‘ala ila al-adna)
2.      Menurut bahasa, nahiy artinya larangan atau meninggalkan sesuatu. Adapun menurut istilah, nahiy ialah tuntutan meninggalkan perbuatan dari yang lebih tinggi derajatnya pada yang lebih rendah
3.      Takhyir adalah Bahwa syari’ (Allah dan RasulNya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan



[1] Satria Effendi dan M. Zein, 2009, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, h. 177
[2] Ibid, h. 178
[3] Beni Ahmad Saebani dan Januri, 2009, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia, h. 261
[4] Fikih Madrasah Aliyah XII, Berdasarkan Standar isi 2008, Madura Utara : Armico, h. 53
[5] Satria Effendi dan M. Zein, op.cit., h. 187
[6] Ibid, h. 194

DAFTAR PUSTAKA

Beni Ahmad Saebani dan Januri, 2009, Fiqih Ushul Fiqh, Bandung : Pustaka Setia
Fikih Madrasah Aliyah XII, Berdasarkan Standar isi 2008, Madura Utara : Armico
Satria Effendi dan M. Zein, 2009, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana

No comments:

Post a Comment